Penggerebekan narkoba berskala besar selalu menjadi sorotan media dan publik karena mengungkap realitas betapa masifnya peredaran zat terlarang ini. Tidak hanya bicara soal jumlah barang bukti yang fantastis, tetapi juga soal nilai ekonomi, dampak sosial, dan keberanian aparat penegak hukum dalam menantang sindikat internasional yang kaya dan terorganisasi.

Baca juga : Kreatifitas Seni Pahat Batu Warisan Abadi
Baca juga : lika liku perjalan karier paris fernandes
Baca juga : Mabar Free Fire bagi Anak Dampak Nyata
Baca juga : Petualangan Mendaki Gunung Merbabu
Baca juga : Inovasi Perkebunan Pohon Mangga Berkualitas
Baca juga : jejak karier achmad jufriyanto
Salah satu kasus paling monumental terjadi pada tahun 2025 di perairan Batam, Kepulauan Riau. Badan Narkotika Nasional (BNN) bersama aparat penegak hukum lain berhasil menggagalkan penyelundupan lebih dari 3,41 ton sabu (methamphetamine) dengan nilai pasar diperkirakan mencapai US$590 juta atau sekitar Rp9,6 triliun. Penggerebekan ini bukan hanya terbesar dalam sejarah Indonesia, melainkan juga menempatkan Indonesia dalam daftar negara dengan operasi narkoba terbesar di Asia Tenggara.
Sejarah Singkat Perdagangan Narkoba di Indonesia
1. Dari Opium Kolonial ke Jaringan Modern
Sejarah narkoba di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari masa kolonial. Pada abad ke-19, opium (candu) justru dilegalkan dan diperdagangkan oleh pemerintah kolonial Belanda melalui sistem monopoli. Konsumsi candu kala itu banyak terjadi di kalangan pekerja perkebunan, masyarakat Tionghoa perantauan, hingga bangsawan tertentu. Praktik ini meninggalkan jejak sosial yang cukup panjang: candu dianggap “komoditas”, bukan sekadar barang terlarang.
Setelah kemerdekaan, Indonesia mulai mengambil sikap tegas terhadap narkotika. Pemerintah melarang peredaran candu dan mulai mengadopsi kebijakan internasional dalam kerangka Konvensi Tunggal Narkotika 1961 yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Meski begitu, posisi Indonesia yang berada di jalur laut utama Asia–Australia menjadikannya rawan sebagai jalur penyelundupan.
2. Era 1970–1990: Narkoba Masuk Indonesia
Mulai 1970-an, peredaran ganja, heroin, dan kokain masuk melalui jaringan internasional. Kawasan Aceh dikenal sebagai salah satu produsen ganja terbesar di Asia Tenggara. Heroin dari “Golden Triangle” (Myanmar, Laos, Thailand) dan “Golden Crescent” (Afghanistan, Pakistan, Iran) juga mulai diperdagangkan ke Indonesia.
Pada periode ini, aparat keamanan Indonesia mulai menemukan pola bahwa negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau sangat sulit diawasi. Pelabuhan kecil dan jalur laut terbuka dimanfaatkan sindikat untuk menyelundupkan barang dalam jumlah besar.
3. Era 2000-an: Ledakan Narkoba Sintetis
Memasuki abad ke-21, tren narkoba bergeser ke arah narkoba sintetis, terutama methamphetamine (sabu) dan ekstasi. Kedua jenis ini lebih mudah diproduksi di laboratorium rahasia, lebih kecil volumenya, dan jauh lebih menguntungkan dibanding ganja. Indonesia menjadi pasar potensial karena jumlah penduduk yang besar, kelas menengah yang berkembang, serta lokasi geografis di antara produsen besar di Asia.
Data BNN menunjukkan bahwa pada awal 2010-an, jumlah pengguna narkoba di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 3,5 juta orang, dengan mayoritas mengonsumsi sabu. Angka ini terus meningkat dan memicu kekhawatiran akan hilangnya “bonus demografi” akibat generasi muda yang terjerumus.
4. Kasus Besar Sebelum 2025
Sebelum penggerebekan 2025, Indonesia sudah diguncang beberapa kasus besar:
-
2017 – Serang, Banten: Polisi menyita 1 ton sabu asal Tiongkok yang diselundupkan lewat kapal nelayan. Nilainya diperkirakan mencapai Rp1,5 triliun.
-
2018 – Jakarta: Bea Cukai dan BNN menggagalkan penyelundupan 1,6 ton sabu dari Taiwan. Barang disembunyikan dalam kontainer yang dikirim ke Pelabuhan Tanjung Priok.
-
2020 – Batam: Aparat kembali menemukan 821 kg sabu di sebuah kapal nelayan di Kepulauan Riau.
Meski masing-masing kasus sudah dianggap besar, jumlahnya masih belum ada yang menembus 2 ton sekaligus. Inilah yang membuat penggerebekan 2025 menjadi titik balik dramatis.
Kasus Penggerebekan Terbesar di Batam 2025
Pada paruh pertama tahun 2025, Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat peningkatan signifikan dalam upaya penyelundupan narkoba lewat jalur laut. Intelijen maritim mendeteksi adanya pergerakan kapal-kapal kecil yang berangkat dari kawasan Golden Triangle (segitiga emas narkoba meliputi Myanmar, Laos, dan Thailand) menuju perairan Asia Tenggara.
Salah satu kapal yang mencurigakan adalah Sea Dragon Tarawa, kapal berbendera asing yang berlayar melalui jalur laut internasional menuju wilayah Indonesia. Berdasarkan informasi awal, kapal ini diduga membawa muatan sabu dalam jumlah besar, disamarkan sebagai kargo legal.
BNN bekerja sama dengan Polri, TNI AL, dan Bea Cukai untuk membentuk satuan tugas gabungan. Operasi ini dilaksanakan secara rahasia dengan menggunakan intelijen satelit, patroli udara, serta penyamaran agen lapangan.

Fakta-Fakta Penting
-
Jumlah Barang Bukti:
Total sabu yang disita mencapai 2,1 ton hanya dari kapal di Batam. Jika dihitung dengan operasi lain di tahun yang sama, jumlahnya naik menjadi 3,41 ton. -
Nilai Ekonomi:
BNN memperkirakan nilai pasar narkoba yang disita mencapai US$590 juta (sekitar Rp9,6 triliun). Angka ini membuat kasus Batam 2025 tercatat sebagai penyitaan narkoba paling mahal dalam sejarah Indonesia. -
Pelaku:
Awak kapal terdiri dari beberapa warga negara asing (diduga asal Myanmar dan Tiongkok). Mereka bekerja untuk sindikat internasional dengan basis produksi di Golden Triangle, salah satu pusat produksi meth terbesar dunia. -
Jalur Penyelundupan:
Narkoba dikirim melalui jalur laut internasional, masuk lewat perairan Kepulauan Riau, lalu rencananya akan didistribusikan ke Jakarta, Sumatra, dan sebagian dikirim ke negara lain di Pasifik. -
Keterlibatan Teknologi:
Untuk melacak kapal, aparat menggunakan radar maritim, satelit, dan patroli udara. Hal ini menunjukkan bahwa operasi penggerebekan narkoba modern kini semakin mengandalkan teknologi tinggi, bukan sekadar razia tradisional.
4. Reaksi Pemerintah dan Publik
Setelah penggerebekan ini diumumkan, pemerintah Indonesia menegaskan komitmen untuk perang total terhadap narkoba. Kepala BNN menyatakan bahwa kasus Batam adalah bukti bahwa sindikat internasional terus mencoba menjadikan Indonesia sebagai pasar utama. Presiden juga mengapresiasi kerja aparat gabungan yang berhasil menggagalkan peredaran narkoba bernilai triliunan rupiah.

Di sisi lain, masyarakat terkejut sekaligus khawatir: jika 2,1 ton sabu berhasil masuk ke pasar, berapa banyak generasi muda yang bisa menjadi korban? Perhitungan sederhana BNN menyebutkan bahwa 1 gram sabu biasanya dikonsumsi 5 orang, artinya 2,1 ton sabu bisa meracuni lebih dari 10 juta orang sekaligus.
Kronologi Penggerebekan
-
Awal Juli 2025
Intelijen BNN menerima informasi dari jaringan internasional (termasuk koordinasi dengan INTERPOL) mengenai adanya kapal yang sedang melintasi Laut Cina Selatan dengan muatan narkoba. Kapal tersebut diperkirakan akan singgah di perairan Batam sebelum mendistribusikan barang ke wilayah lain di Indonesia. -
Pertengahan Juli 2025
Tim gabungan BNN mulai melacak kapal Sea Dragon Tarawa menggunakan radar maritim. Aparat menemukan bahwa kapal tersebut mengubah rute secara tiba-tiba untuk menghindari jalur pengawasan resmi. -
21 Juli 2025
Kapal berhasil dihentikan oleh aparat di perairan sekitar Batam. Dalam operasi dramatis di laut, aparat berhasil menguasai kapal tanpa kontak bersenjata. Awak kapal yang terdiri dari beberapa warga negara asing langsung diamankan. -
22 Juli 2025
Setelah dilakukan pemeriksaan mendalam, aparat menemukan 2,1 ton sabu (methamphetamine) yang disembunyikan dalam kompartemen khusus kapal. Barang bukti ini kemudian dibawa ke daratan untuk diamankan. -
Konteks Lebih Luas
Tidak hanya kapal tersebut, BNN melaporkan bahwa sepanjang semester pertama 2025, total 3,41 ton sabu telah disita dalam berbagai operasi. Namun penggerebekan di Batam dengan penyitaan 2,1 ton merupakan porsi terbesar sekaligus rekor nasional.