
tanggal 3 september 2025 adalah hari gubernur jawa barat dedi mulyadi,
mengundang mahasiswa sejawabarat di gedung gubernur di kota bandung.
Baca juga : Lebih dekat sosok brigjen tni Muhammad nas
Baca juga : gaya penampilan artis di demo DPR
Baca juga : Persib bandung los galatiocos indonesia
Baca juga : Kombes Pol. Rantau brimob terbuka dan berani
Baca juga : Penyerangan kampus unisba dan unpas
Pertemuan antara Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dengan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi se-Jawa Barat pada awal September 2025 menjadi sorotan publik. Dialog ini lahir dari ketegangan antara aparat dan mahasiswa yang sebelumnya sempat memanas, terutama setelah insiden penggunaan gas air mata di lingkungan Universitas Islam Bandung (Unisba). Untuk memahami peristiwa ini secara menyeluruh, kita perlu menelaah kronologi kejadian, substansi dialog, respon mahasiswa, serta dampaknya bagi hubungan antara pemerintah daerah dan generasi muda intelektual Jawa Barat.
1. Latar Belakang: Dari Insiden ke Dialog
Ketegangan bermula saat aparat keamanan menggunakan gas air mata untuk membubarkan massa aksi yang meluber hingga kawasan sekitar kampus Unisba, Bandung. Gas tersebut masuk ke area kampus dan menimbulkan keresahan mahasiswa maupun civitas akademika. Insiden ini memicu gelombang kritik terhadap aparat dan menambah ketidakpercayaan mahasiswa terhadap pemerintah.
Menyadari potensi eskalasi, Dedi Mulyadi segera mengambil langkah cepat. Ia mendatangi Rektor Unisba dan Presiden BEM Unisba, serta berjanji membuka ruang dialog yang lebih luas. Dedi menekankan bahwa ia tidak ingin konflik berlanjut, melainkan harus dikelola dalam ruang diskusi akademis yang sehat. Hal inilah yang kemudian menjadi pijakan digelarnya forum dialog di Halaman Gedung Sate, markas besar pemerintahan Provinsi Jawa Barat.
2. Dialog di Unisba: Isyarat Awal
Pertemuan di Unisba berlangsung pada awal September 2025, sehari setelah insiden gas air mata. Dedi hadir langsung dan berdialog dengan mahasiswa. Di forum itu, mahasiswa menyuarakan kritik terhadap penggunaan uang negara yang dinilai sering boros dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Mereka menuntut transparansi, efisiensi, serta keberanian pemerintah untuk memangkas anggaran seremonial dan proyek-proyek yang tidak mendesak.
Dedi menanggapi aspirasi itu dengan cukup terbuka. Ia bahkan memuji mahasiswa karena menurutnya aksi mereka terstruktur, terarah, dan berbasis kajian akademis, bukan sekadar teriakan emosional. Ia juga mengingatkan DPRD Jawa Barat agar lebih bijak dalam menyusun anggaran, sebab kebijakan fiskal yang tidak efisien justru membebani masyarakat.
Pertemuan ini menjadi titik balik: bukannya memperuncing konflik, insiden di Unisba justru memaksa pemerintah daerah membuka ruang komunikasi yang lebih luas dengan mahasiswa se-Jabar.
3. Dialog Akbar di Halaman Gedung Sate
Puncak dialog terjadi pada Rabu, 3 September 2025. Pemerintah Provinsi Jawa Barat secara resmi mengundang mahasiswa dari berbagai daerah—terutama Bandung Raya, Cimahi, dan Jatinangor—untuk hadir di Halaman Gedung Sate. Jumlah peserta mencapai ratusan orang, dengan representasi dari sekitar 350–420 kampus. Forum ini diposisikan bukan sebagai panggung retorika, melainkan wadah pertukaran gagasan.
Acara berlangsung mulai pukul 09.00 WIB dengan suasana kondusif. Dedi duduk sejajar dengan mahasiswa, bukan di panggung tinggi, untuk menegaskan kesetaraan dalam berdialog. Mahasiswa bergiliran menyampaikan aspirasi mereka, mulai dari isu pendidikan, transparansi anggaran, lingkungan, hingga keterbukaan birokrasi.
Dedi menegaskan bahwa pemerintah tidak hanya mendengar, tetapi juga akan menindaklanjuti dalam bentuk rekomendasi konkret yang dibawa ke rapat bersama DPRD Jawa Barat. Ia menekankan bahwa dialog ini bukan bentuk reaksi atas tekanan, melainkan bagian dari demokrasi yang inklusif.
4. Pesan Penting: Hindari Penyusupan dan Kekerasan
Salah satu poin yang cukup ditekankan Dedi adalah bahaya penyusupan pihak luar dalam gerakan mahasiswa. Ia mengingatkan bahwa unjuk rasa sering kali berpotensi ditunggangi oleh kelompok tertentu yang memiliki agenda anarkis. Karena itu, ia mengimbau mahasiswa untuk menjaga kemurnian perjuangan mereka, serta menghindari aksi yang berlangsung hingga malam hari karena rawan kericuhan.
Dedi juga menekankan bahwa dialog lebih bermakna daripada bentrokan fisik. Menurutnya, kritik keras tetap bisa disampaikan dalam forum resmi yang aman, tanpa perlu mengorbankan ketertiban publik maupun keselamatan mahasiswa.
5. Respon Mahasiswa

Mahasiswa menyambut langkah Dedi dengan beragam sikap. Sebagian menilai bahwa pemerintah memang perlu membuka ruang dialog secara rutin, bukan hanya ketika terjadi insiden. Mereka mengingatkan agar hasil dialog ini tidak sekadar berhenti pada janji, tetapi benar-benar diterjemahkan dalam kebijakan.
Ada pula yang mengapresiasi sikap Dedi yang datang langsung ke kampus dan mau berdiskusi di ruang terbuka. Menurut mereka, gesture itu menunjukkan adanya niat baik pemerintah untuk memperbaiki komunikasi dengan generasi muda. Namun, skeptisisme tetap ada: mahasiswa mengingatkan bahwa politik sering penuh janji manis, sementara realisasinya sering mengecewakan.
6. Makna Politik dan Sosial
Dialog ini memiliki arti strategis bagi Jawa Barat. Pertama, ia menjadi preseden positif bahwa konflik antara mahasiswa dan pemerintah bisa diredam melalui dialog terbuka, bukan represi. Kedua, pertemuan ini memperlihatkan pentingnya kampus sebagai ruang demokrasi: mahasiswa bukan hanya obyek pembangunan, tetapi subyek yang kritis dan berani mengoreksi kebijakan.
Bagi Dedi Mulyadi, forum ini juga memperkuat citranya sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat, khususnya kaum muda. Di tengah iklim politik nasional yang penuh dinamika menuju Pemilu 2029, langkah ini bisa dilihat sebagai strategi membangun basis dukungan di kalangan intelektual muda Jawa Barat.
7. Tantangan Pasca-Dialog

Meski forum ini menuai apresiasi, pekerjaan rumah masih panjang. Beberapa tantangan yang harus dihadapi antara lain:
-
Tindak lanjut kebijakan: apakah aspirasi mahasiswa benar-benar akan diakomodasi dalam program dan anggaran Pemprov Jabar.
-
Konsistensi komunikasi: apakah dialog seperti ini akan menjadi agenda rutin atau hanya insidental.
-
Pengelolaan keamanan: bagaimana aparat menjaga situasi tetap kondusif tanpa menimbulkan trauma baru, seperti penggunaan gas air mata di kampus.
-
Menghindari politisasi: apakah forum ini benar-benar menjadi ruang demokrasi murni, atau justru dijadikan alat politik menjelang pemilu.
Dialog langsung antara Dedi Mulyadi dan mahasiswa se-Jawa Barat merupakan momentum penting dalam sejarah politik daerah. Ia lahir dari konflik, namun justru menghadirkan ruang baru bagi demokrasi partisipatif. Fakta bahwa ratusan mahasiswa dari ratusan kampus hadir dan menyampaikan aspirasi secara terbuka menunjukkan besarnya energi intelektual di Jawa Barat.
Bagi mahasiswa, forum ini adalah kesempatan untuk memastikan suara kritis mereka masuk ke meja pengambil keputusan. Bagi pemerintah, ini adalah ujian untuk membuktikan bahwa keterbukaan bukan sekadar jargon. Jika hasil dialog benar-benar diimplementasikan, maka Jawa Barat bisa menjadi contoh bagaimana konflik sosial dapat diubah menjadi modal demokrasi yang sehat.
Dengan demikian, dialog di Unisba dan Gedung Sate bukan sekadar peristiwa sesaat, melainkan cermin dari perjalanan panjang demokrasi Indonesia yang terus belajar merangkul kritik, memperbaiki diri, dan menempatkan rakyat—khususnya generasi muda—sebagai mitra sejajar dalam pembangunan.